Dari Kenangan Kelam Menuju Kesiapsiagaan: Kisah PETA UTU, Simbol Persahabatan dan Ketahanan Bencana

Meulaboh – UTU | Pagi yang cerah menyelimuti kampus Universitas Teuku Umar (UTU) di Alue Peunyareng, Rabu (6/8/2025). Embun pagi masih memeluk dedaunan, memancarkan kesegaran yang kontras dengan kisah getir yang tersimpan di salah satu bangunannya. Di tengah hiruk pikuk mahasiswa yang memulai aktivitasnya, langkah-langkah santai Grace, seorang mahasiswi semester dua, membawanya ke sebuah gedung: Pusat Edukasi Tsunami Aceh (PETA) UTU.

Sebuah senyuman ramah menyambut Grace dari balik meja resepsionis. Petugas dengan hangat mempersilakannya masuk. Di dinding belakangnya, sebuah tulisan besar menarik perhatian: “Persahabatan Indonesia Jepang – Kami Bersahabat Dengan Semua Bangsa.” Tulisan itu menjadi pengingat bisu akan uluran tangan Pemerintah Jepang yang memungkinkan berdirinya monumen edukasi ini, saksi bisu dua dekade berlalu sejak gelombang Samudera Hindia menggulung Aceh pada 26 Desember 2004. Penting untuk diketahui bahwa gedung ini adalah proyek bantuan pemerintah Jepang melalui program Grand Assistance Grassroots Human Security Projects, menunjukkan komitmen kuat Jepang terhadap kemanusiaan dan keamanan di tingkat akar rumput.

Memasuki PETA UTU, Grace seolah diajak menembus lorong waktu. Deretan foto-foto menghitam membingkai wajah-wajah polos yang kini hanya tinggal kenangan, senyum yang tak lagi merekah, dan puing-puing bangunan yang menjadi bisu saksi kedahsyatan gelombang. Di sudut lain, barang-barang yang berhasil diselamatkan dari amukan tsunami terpajang rapi: sepotong pakaian lusuh, serpihan perabot rumah tangga, hingga mainan anak-anak yang terpisah dari pemiliknya. Setiap artefak ini, meski tanpa suara, bercerita tentang kepedihan mendalam, tentang keluarga yang terpisah, dan tentang kehidupan yang seketika berubah. Grace terdiam, merasakan getaran emosi yang begitu kuat dari setiap benda yang dilihatnya.

Tragedi 26 Desember 2004 memang membekas sebagai salah satu musibah kemanusiaan terbesar. Gempa bumi dahsyat berkekuatan 9,1-9,3 SR memicu tsunami setinggi puluhan meter, merenggut lebih dari 230.000 nyawa, menghancurkan ratusan ribu bangunan, dan membuat jutaan orang kehilangan tempat tinggal. Trauma mendalam itu masih terasa di setiap sudut Bumi Serambi Mekkah.

Selama ini, pusat edukasi mitigasi bencana cenderung terpusat di Banda Aceh. Namun, Aceh Barat, salah satu daerah terdampak paling parah, masih minim fasilitas edukasi yang memadai. Di sinilah PETA UTU hadir sebagai jawaban. Gedung ini, yang diresmikan oleh Konsulat Jenderal Jepang di Medan, Takonai Susumu, Ph.D., bukan sekadar museum, melainkan pusat pembelajaran aktif.

“Di tempat ini, kita tidak hanya mengenang kepahitan masa lalu, tetapi yang lebih penting adalah belajar tentang kesiapsiagaan bencana,” ujar Rektor Universitas Teuku Umar, Prof. Dr. Drs. Ishak Hasan, M.Si., dengan penuh harap. Beliau menambahkan bahwa PETA UTU diharapkan dapat menjadi pusat pembelajaran yang efektif bagi civitas akademika UTU dan seluruh masyarakat Aceh Barat, bahkan lebih luas lagi. “Dengan pengetahuan dan pemahaman yang baik, kita berharap dapat meminimalisir risiko dan dampak buruk jika bencana serupa kembali terjadi,” tegas Prof. Ishak.

Bagi Grace dan mahasiswa UTU lainnya, PETA UTU adalah lebih dari sekadar gedung perkuliahan. Ini adalah laboratorium hidup, tempat di mana teori mitigasi bencana berpadu dengan kisah nyata, menanamkan kesadaran dan kesiapsiagaan langsung ke dalam jiwa mereka. Keberadaan PETA UTU sejalan dengan semangat program kampus berdampak, di mana perguruan tinggi tidak hanya menjadi menara gading ilmu, melainkan juga agen perubahan yang berkontribusi nyata bagi masyarakat. Melalui PETA UTU, UTU membuktikan komitmennya untuk membangun masyarakat yang lebih tangguh dan berdaya dalam menghadapi potensi bencana.

Dari reruntuhan masa lalu, PETA UTU memancarkan harapan akan masa depan yang lebih tangguh. Ia adalah pengingat abadi akan pentingnya kewaspadaan dan kesiapsiagaan, serta bukti nyata kolaborasi internasional untuk melindungi masyarakat Aceh dari ancaman bencana. [HUMAS]

Laporan: Raflizar | Editor: Yuhdi F. | Foto: Zul Eman.

Related Posts

Leave a Reply