MEULABOH, UTU – Tiga Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP-Universitas Teuku Umar (UTU) melakukan riset terhadap remaja yang mengalami retardasi mental di Kabupaten Aceh Barat. Dosen yang melakukan penelitian tersebut adalah Muzakkir, Said Fadhlain dan Iwan Doa Sempena.

Hasil riset tersebut, Rabu, 12 April 2023, telah diseminarkan di depan reviewer, Prof. Badaruddin, dan Prof. Irvan dari Universitas Sumatera Utara (USU). Sebelumnya, hasil riset dan kajian terhadap remaja retardasi mental tersebut telah dipublis pada “Jurnal Sosiologi Agama Indonesia (JSAI) Volume 3, Nomor 3, November 2022, Halaman: 186-200. Link: https://journal.ar-raniry.ac.id/index.php/jsai/article/view/2107

Dalam seminar yang dilakukan oleh LPPM UTU, peneliti memaparkan, dari hasil survei di Kabupaten Aceh Barat, dipereloh informasi terdapat remaja retardasi mental seperti di Kecamatan Johan Pahlawan, Kecamatan Meureubo, Kecamatan Kaway XIV dan di beberapa desa lainnya dalam kecamatan berbeda di kabupaten yang sama. Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:  1). Penyebab terjadinya retardasi mental terhadap remaja dan sikap orang tua dalam merawat, mendidik dan mengawasinya, 2). Kendala yang dihadapi orang tua sehari-hari merawat dalam pengembangan anaknya, 3). Strategi yang dilakukan orang tua dan perhatian pemerintah dalam pengembangan remaja retardasi mental, termasuk kelanjutan pendidikan.

Pola asuh orang tua dalam merawat anak penyandang retardasi mental terutama dalam hal pembentukan karakter anak, seringkali orang tua kurang memahami kondisi anaknya yang sedang menderita gangguan mental. Untuk sementara menunjukkan, hampir sebagian besar orang tua  memiliki pola asuh  bersifat permisif. Hal ini berkaitan erat dengan latar belakang kehidupan dan pendidikan orang tua. Penerapan pola asuh permisif memberikan gambaran bahwa orang tua cenderung memberi kebebasan pada anak dan tidak menuntut.

Fenomena dalam masyarakat, masih banyak orang tua khususnya ibu yang menolak kehadiran anak yang tidak normal, karena malu mempunyai anak yang cacat. Orang tua yang demikian akan cenderung menyangkal keberadaan anaknya dengan menyembunyikan anak tersebut agar jangan sampai diketahui oleh orang lain. Tindakan orang tua seperti ini akan memperparah keadaan remaja yang mengalami retardasi mental. Anak dan remaja yang mengalami retardasi mental perlu perhatian, sentuhan dan pendidikan khusus untuk membantu perkembangan intelektual.

Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan tentang penderita retardasi mental yang ada di Kabupaten Aceh Barat Provinsi Aceh. Adapun yang menjadi fokus utama dalam penelitian ini adalah bagaimana kehidupan penyandang retardasi mental dan apa penyebabnya, serta bagaimana sikap orang tua dalam menghadapi penderita retardasi mental tersebut.

Muhammad Maulana, warga Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh adalah potret penyandang retardasi mental.  Selain Muhammad Maulana, ada Misdar, Sulaiman dan Zulhijjah. “Muhammad Maulana termasuk salah seorang remaja korban KDRT dan sekarang sekolah di SDLB Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat. Maulana trauma atas sikap orangtuanya sehingga dirinya mengalami gangguan mental (retardasi). Walaupun lambat, namun Maulana dapat memperoleh ketrampilan praktis di sekolah”, kata salah seorang pengasuhnya, saat bincang-bincang dengan peneliti.

Riset ini membuktikan bahwa retardasi mental juga disebabkan oleh suatu proses sosial yang terjadi di dalam keluarga. Pola asuh yang tidak mengedepankan komunikasi psikologis yang baik dan tindakan kekerasan dalam rumah tangga telah menjadi salah satu penyebab terjadinya retardasi mental pada anak. Oleh karena itu, proses sosial yang terjadi dalam keluarga dan masyarakat perlu mendapatkan perhatian oleh orang tua dan pihak-pihak terkait agar retardasi mental pada anak dapat dihindari, dan yang juga tidak kalah penting adalah proses sosial yang berupa pola asuh dengan pendekatan psikologi komunikasi perlu dijadikan sebagai salah satu pendekatan untuk mengatasi retardasi mental yang telah terjadi di dalam keluarga. Dalam konteks ini, tanggung jawab pencegahan tentunya tidak hanya berada pada sisi orang tua, tetapi juga pada lembaga-lembaga sosial yang ada dalam masyarakat seperti lembaga pendidikan hingga pemerintah. Lembaga tersebut harus mampu menciptakan dunia sosial anak yang bebas dari praktik bullying dan aspek negatif lainnya. (***)