Meulaboh – UTU | Memasuki dua dekade atau 20 tahun pasca-penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki yang mengakhiri konflik bersenjata di Aceh, Rektor Universitas Teuku Umar (UTU), Prof. Dr. Ishak Hasan, M.Si., menyerukan agar perdamaian yang telah terwujud terus dipelihara dan diperjuangkan. Ia menilai, meski Aceh telah menikmati kedamaian selama 20 tahun, masih banyak poin penting dalam kesepakatan tersebut yang belum sepenuhnya terealisasi.
“Secara pribadi, saya sangat bersyukur atas perdamaian yang sudah kita capai selama dua dekade ini,” ujar Prof. Ishak pada Rabu (13/8/2025). “Namun, secara harapan, kesempurnaan itu belum tercapai. Kita semua masih perlu memperbaiki diri dan terus bekerja keras agar Aceh bisa benar-benar bangkit dan maju.”
Prof. Ishak menegaskan bahwa perdamaian tidak hanya berarti tiadanya konflik bersenjata, tetapi juga harus diikuti dengan pembangunan ekonomi, keadilan regulasi, dan kesejahteraan sosial masyarakat. Menurut Prof. Ishak ada tiga tantangan utama dalam menjaga dan memperkuat perdamaian Aceh:
- Regulasi yang Belum Sepenuhnya Berjalan: Ia menyebut masih ada butir-butir dalam MoU Helsinki yang belum terakomodasi secara penuh dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), menjadi hambatan dalam mewujudkan otonomi yang sesungguhnya.
- Mentalitas dan Pola Pikir Masyarakat: Masyarakat Aceh, menurutnya, perlu menumbuhkan sikap saling percaya untuk bersama membangun masa depan. “Kalau masih saling curiga, akan sulit untuk membangun,” tuturnya.
- Perbaikan Ekonomi yang Berkelanjutan: Aceh memiliki potensi sumber daya alam yang besar namun belum dimanfaatkan maksimal. Ia mendorong masyarakat untuk menanamkan semangat kerja keras dan kemandirian agar tidak terus bergantung pada bantuan.
Peran Generasi Muda dan Dana Otsus
Prof. Ishak juga menyoroti pentingnya peran generasi muda dalam menjaga dan melanjutkan semangat perdamaian. Beliau berharap anak muda Aceh tidak hanya memiliki pengetahuan akademik, tetapi juga keterampilan (soft skill dan hard skill) serta karakter mulia. “Mereka harus tampil mengambil peran. Pemerintah harus membantu dengan menyediakan beasiswa, pelatihan, dan dukungan dana. Tapi pada akhirnya, usaha harus datang dari diri sendiri,” kata Prof. Ishak.
Beliau juga menekankan bahwa generasi muda Aceh harus berpikir global namun tetap berpijak pada nilai-nilai lokal, termasuk ajaran Islam yang menjadi bagian dari identitas Aceh.
Dalam pertemuan baru-baru ini dengan mantan Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, Prof. Ishak menyampaikan langsung bahwa sejumlah butir dalam MoU Helsinki belum sepenuhnya diimplementasikan, termasuk terkait dana otonomi khusus (Otsus).
“Dana Otsus jangan dibatasi waktunya. Masih banyak kantong-kantong kemiskinan di Aceh. Tanpa dukungan anggaran, pembangunan sulit dilakukan,” tegasnya. Ia menambahkan bahwa terbatasnya lapangan kerja dan belum tumbuhnya sektor usaha membuat Aceh sangat membutuhkan dukungan fiskal berkelanjutan.
Isu Agama, Budaya, dan Pesan untuk Pusat
Terkait isu agama dan budaya, Prof. Ishak menegaskan bahwa Islam di Aceh bersifat inklusif dan tidak seharusnya menjadi penghalang masuknya investasi yang baik. Ia menyoroti pentingnya membangun persepsi positif terhadap penerapan syariat di Aceh. “Jangan sampai hal seperti hukuman cambuk menakutkan investor. Harus ada komunikasi yang jelas kepada dunia luar,” jelasnya.
Prof. Ishak juga mendukung masuknya investasi di sektor pertambangan selama tidak merusak lingkungan dan adanya sistem bagi hasil yang adil. Menurutnya, elite politik dan ulama di Aceh harus lebih fleksibel dalam menghadapi perkembangan global.
Prof. Ishak Hasan juga berpesan kepada pemerintah pusat agar tidak memaksakan kehendak kepada Aceh, melainkan menghormati regulasi yang sudah disepakati melalui MoU dan UUPA. “Kalau sudah punya regulasi yang bagus, berdamailah dengan regulasi itu. Jangan pertahankan ego masing-masing,” pesannya.
Terakhir, ia menyoroti pentingnya sosialisasi sejarah konflik Aceh kepada generasi muda yang banyak belum lahir pada masa konflik. Menurut Prof. Ishak, momentum dua dekade damai Aceh menjadi pengingat bahwa damai bukan sekadar senyapnya senjata, tetapi tentang keadilan, kesejahteraan, dan masa depan yang lebih baik. Perdamaian Aceh adalah warisan berharga yang harus dijaga bersama, bukan hanya oleh elite, tetapi oleh seluruh masyarakat. [Humas UTU]
Laporan: aceh.tribunews.com