MEULABOHUTU | Upaya revitalisasi bahasa daerah tidak hanya menjadi tanggung jawab Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) semata. Revitalisasi bahasa daerah melibatkan seluruh pemangku kepentingan, yang meliputi pemerintah daerah, unsur-unsur masyarakat seperti tokoh masyarakat, komunitas penutur, dan lembaga adat, serta sekolah.

Sadar akan pentingnya revitalisasi bahasa daerah ini, tim dosen Prodi Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Teuku Umar melalakukan Penelitian skema penugasan di sejumlah sekolah di Kabupaten Nagan Raya. Kegiatan tersebut melibatkan empat orang dosen dan dua mahasiswa prodi IAN.

Penelitian tersebut diketuai oleh Siti Jahria Sitompul, M.Pd dengan anggota tim Veny Nella Syahputri, M.Pd, Cut Nabila Kesya, M.Pd dan Aduwina Pakeh, M.Sc. Penelitian ini mengangkat tema “Peran Pemerintah Daerah Dalam Pemeliharaan Bahasa Daerah melalui Pendekatan Baru Revitalisasi Bahasa Daerah Model A di Kabupaten Nagan Raya.

Kegiatan itu dilaksanakan pada Rabu, 18 Oktober 2023 di dua sekolah, yaitu SMPN 7 Kuala dan SDN Alue Bata serta Dinas Pendidikan Kabupaten Nagan Raya.

Siti Jahria Sitompul kepada Humas UTU mengatakan secara global terdapat 178 bahasa daerah di Indonesia, yang saat ini berstatus terancam punah atau mengalami penurunan status. Hal ini dipengaruhi beberapa faktor antara lain adalah adanya perpindahan penduduk dari desa ke kota, yang penyebabnya terkait dengan faktor ekonomi, bencana alam, pendidikan, atau karier. Selain itu, faktor politik yang terfokus ke pusat (atau yang disebut sebagai sentralisasi) menyebabkan wilayah pinggiran, atau yang lokasinya jauh dari pusat kota, menjadi tertinggal khususnya terkait dengan informasi. Yang terakhir, adanya kebijakan pemerintah yang mengharuskan bahwa ranah pendidikan mengharuskan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar atau media untuk berinteraksi.

“Dengan adanya tiga faktor tersebut, di masa depan bahasa daerah akan menghadapi ancaman serius dari kepunahan bahasa,” kata Siti Jahria

Merujuk kepada permasalahan tersebut, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa tahun 2022 merekomendasikan beberapa solusi yang harus diimplementasikan untuk melestarikan Bahasa daerah di Indonesia, yang terdiri dari: Pembelajaran Berbasis Pencelupan, Pembelajaran Berbasis Praktik Satu Hari Berbahasa Daerah, Pembelajaran Berbasis Teknologi, Pembelajaran Berbasis Keagamaan, Pembelajaran Berbasis Seni dan Budaya, dan Pembelajaran Berbasis Kreativitas.

Selain itu, untuk mendorong implementasi rekomendasi BPPB tersebut, Pemerintahan Aceh telah mengeluarkan instruksi gubernur (Ingub) tentang Penggunaan Bahasa Aceh, Aksara Aceh dan Sastra Aceh. Dalam instruksi itu, setiap perkantoran diminta menerapkan penggunaan bahasa Aceh setiap Kamis.

Instruksi tersebut juga selaras dengan ketentuan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Pasal 221 menyebutkan bahwa Pemerintah Pusat, Pemerintah Aceh, dan Pemerintah Kabupaten/Kota melindungi, membina, mengembangkan kebudayaan dan kesenian Aceh yang berlandaskan nilai Islam yang dalam pelaksanaannya mengikutsertakan masyarakat dan lembaga sosial.

Penelitian kita ingin mengetahui sejauh mana kepahaman dan implementasi dari rekomendasi badan pengembangan dan pembinaan bahasa tersebut juga implementasi Instruksi Gubernur Aceh bernomor 05/INSTR/2023 yang dikeluarkan pada 21 Maret lalu.

“Setidaknya dari dua sekolah yang kita kunjungi, kita telah mendapatkan gambaran umum bahwasanya pihak sekolah nyaris belum pernah melakukan pembelajaran berbasis pencelupan, juga pembelajaran berbasis teknologi masih rendah. Sementara praktik satu hari berbahasa daerah masih ditemui sejumlah kendala, mengingat keberagaman profil siswa,” kata Siti Jahria.

Lanjutnya, untuk pembelajaran berbasis keagamaan, seni dan budaya, serta pembelajaran berbasis kreativitas rata-rata telah diterapkan di sekolah dalam Kabupaten Nagan Raya, seperti materi zikir maulid, tarian ranup lampuan, pantun, pidato, dongeng dan lain-lain.

Sementara itu Veni Nela Syahputri menyebutkan dalam diskusi bersama Dinas Pendidikan Nagan Raya, pihaknya mendorong Disdik Nagan Raya  memasukkan pelajaran bahasa daerah ke dalam mata pelajaran muatan lokal. “Bahasa daerah di Aceh ini harus terus direvitalisasi agar tidak hilang. Jangan sampai bahasa dan kebudayaan Aceh tergerus budaya-budaya baru,” kata Veny

Veny menyebutkan ada beberapa tujuan revitalisasi bahasa daerah ini, pertama, para penutur muda akan menjadi penutur aktif bahasa daerah dan mempelajari bahasa daerah dengan penuh suka cita melalui media yang mereka sukai. Kedua, menjaga kelangsungan hidup bahasa dan sastra daerah. Ketiga, menciptakan ruang kreativitas dan kemerdekaan bagi para penutur bahasa daerah untuk mempertahankan bahasanya, dan keempat, menemukan fungsi dan rumah baru dari sebuah bahasa dan sastra daerah.

Sementara itu Kepala Dinas Pendidikan Nagan Raya melalui Kepala Bidang Pendidikan Dasar, Zaini, S.Pd menyatakan pihaknya siap bergotong royong untuk merevitalisasi bahasa daerah. “Kami siap melaksanakan program revitalisasi bahasa daerah, yaitu revitalisasi bahasa Aceh. Kami sudah memasukkan pelajaran bahasa Aceh ke dalam muatan lokal di sekolah. Kami juga telah menerapkan hari kamis bertutur menggunakan bahasa Aceh di kantor Disdik dan sekolah,” kata Zaini

Program revitalisasi bahasa daerah merupakan paket kebijakan yang dikemas oleh Kemendikbud Ristek dalam Merdeka Belajar Episode 17, yang diluncurkan tanggal 22 Februari 2022 yang lalu. Revitalisasi bahasa daerah perlu dilakukan mengingat 718 bahasa daerah di Indonesia, sebagian besar kondisinya terancam punah dan kritis. (Humas UTU)